Di satu Café, hampir setengah sepuluh. Aku duduk disudut ruangan yang nyaris gelap. Cahaya yang ada tidak layak disebut ’ sekedar’ temaram. Nyanyian lirih terdengar. Seorang penyanyi duduk diujung sana. Ia tidak cantik. Hanya wanita setengah baya berbaju gelap, rambut pendek dengan lipstik yang menyala. Aku memandangnya sampai aku jenuh. Aku mencari alasan mengapa aku disini, mungkin digiring oleh situasi yang tidak memberikan aku pilihan untuk menolak. Entahlah. Aku berada diantara orang-orang yang semestinya aku kenal. Tapi wajah-wajah itu berubah pias dan asing. Aku mulai gamang. Aku mulai diyakinkan kalau aku akan menyesali keberadaanku. Dua orang, sepertinya pasangan, berada disebelahku. Musik yang mengalir diudara malam yang berwarna kuning itu menyamarkan pembicaraan mereka. Mungkin mereka justru tidak berbicara. Aku tidak begitu perduli. Aku berangsur sibuk dengan pikiranku sendiri.
Disatu Café, lewat dari setengah sepuluh. Mereka tertawa karena lelucon yang tidak lucu. Aku hanya merasa muak melihat tawa mereka. Mereka semakin terbahak. Mereka mentertawakan aku karena aku tidak tertawa. Aku tidak bisa melihat wajah mereka. Karena udara yang masih berwarna kuning itu dan cahaya yang tidak layak disebuti ‘sekedar’ temaram menyamarkan pandanganku.
Mereka berusaha mengajakku berbicara. Aku merasa mual. Senyum mereka menjadi seperti seringai serigala. Mereka bertanya, mereka menjawab, mereka menyapa, mereka berteriak, mereka memaki, mereka marah, mereka gila.. Aku terpaksa menelan celotehan-celotehan hambar yang membuatku muntah.
Di satu Café, jam sepuluh kurang seperempat. Udara mulai putih. Sepasang pria dan wanita sedang berdansa sekarang. Tidak indah. Hanya sekedar gerakan-gerakan dipaksakan dan ekspresi emosional yang tidak matang. Lagu kedua dimulai. Mereka berhenti berdansa. Capek, kurasa. Karena pria itu seorang laki-laki tua yang warna rambutnya berkilau putih ditimpa cahaya yang tidak layak disebut ‘sekedar’ temaram. Udara semakin putih dan aku benci perubahan itu. Pasangan disampingku mabuk. Gelas minuman itu mulai kosong. Aku bisa merasakan aromanya. Aneh. Itu aroma kematian. Dan aroma itu merebak, makin lebar, semakin lebar, menutup segala pembuluh darahku.
Di satu Café, jam sepuluh kurangnya tidak sampai seperempat. Aku gelisah. Mereka melihatku dengan mata semerah saga. Udara menjadi pekat, mulai menghitam. Seorang lelaki botak menatapku dengan sorot yang menjijikan. Aku bisa merasakan hatinya yang mulai berjamur. Busuk oleh ketidaksetiaan, nafsu, angkara, dan pembenaran diri. Pasangan tua itu mulai berdansa kembali diantara musik yang terasa makin berat, menghantam sudut-sudut sadarku, menyayat, menyeret aku dalam pusaran yang menakutkan. Aku ketakutan.
Aku gemetar. Nafasku tersumbat sisa-sisa dosa yang mengerikan. Menabur bau-bau serpihan kesalahan, kemegahan diri, dan kesia-siaan. Aku tercekat. Menatap hidupku dengan pikiran penuh. Mungkin beban, mungkin penyesalan. Memutih benakku, memutih, memutih. Sesak dadaku. Aku tidak bisa menangis meski gemuruh jiwa mulai membuncah. Seketika satu Terang mulai menyala.
Di satu Café, hampir jam sepuluh. Aku akhirnya menangis. Tidak kuasa menahan gumpalan rasa malu. Telanjang aku sekarang. Dimana mereka, dimana penyanyi itu, dimana, pasangan mabuk itu, dimana pasangan dansa itu, dimana lelaki berkepala botak itu, dimana aku?
Terang itu menjamahku. Aku panik. Ia pasti akan mentertawakanku, ia akan menghujani aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Ia akan menuntutku karena ketidaksetiaan, kesombongan, penghargaan diri, pembenaran diri, kebohongan, dan seterusnya, dan seterusnya. Aku memalingkan muka. Terdiam. Lama.
Lalu sunyi. Sunyi yang bertahta diantara waktu yang mengalir perlahan. Aku mengumpulkan keberanian untuk menatapNya. Aku berusaha mengatasi rasa takutku. Aku memandangNya. Memandang mataNya. Dan aku sangat terkejut.
Aku tidak mendapati tuduhan di sana. Tidak ada tuntutan. Yang kutemukan hanya mata yang berbicara, “Aku mencintaimu’. Lama aku memandang mata yang tajam dan penuh pengertian itu. Satu-satunya pesan yang kutangkap adalah pesan yang sama. “Aku mencintaimu.” Dan sama seperti Petrus, aku menangis.
Terang itu membawaku keluar dari café itu. Dalam dekapan Terang, jam sepuluh tepat. Aku merasa damai.
Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya, ,“Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku.” Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya. (Lukas 22 :61,62)
Palembang, 26 Februari 2002