Senin, 11 Februari 2013

Alkisah diceritakan dulu sekali oleh nenek buyut kepada cucunya tinggal dua kakak beradik perempuan bernama Nuren dan Renggalis. Mereka tinggal di sebuah kota kecil yang sekarang di sebut Prabumulih, sebuah kota di Sumatera Selatan. Kota kecil dengan perkebunan nanas yang terhampar luas. Nuren dan Renggalis tinggal di satu sudut kampung bersama kedua orang tua yang mengasihi mereka. Usia mereka bertaut 5 tahun. Nuren sang kakak adalah anak dari pernikahan ayah mereka dengan seorang wanita kaya bangsawan. Karena ayah adalah seorang petani nanas yang sederhana, keluarga ibu Nuren tidak menyetujui pernikahan itu. Mereka tidak lagi mengakui ibu Nuren sebagai anak. Namun karena ayah Nuren adalah laki-laki yang baik, ibu Nuren merelakan kehilangan segalanya untuk tinggal bersama suami dan putri kecil mereka yang cantik di perkebunan nanas di sudut kampungPrabumulih. Cinta dalam keluarga kecil itu menambahkan kebahagiaan pada hidup mereka.

Nuren kecil tumbuh dengan kecintaannya pada tanaman buah nanas sama seperti ayahnya. Ia begitu senang memerhatikan buah kecil bermahkota itu muncul dari sela-sela daun panjangnya yang berduri. Cahaya matahari pagi dan senja memantulkan warna keemasan nanas-nanas yang siap dipanen. Sering sekali ibu Nuren menasehatinya supaya berhati-hati karena tanaman nanas itu bisa menyakitinya. Tawa renyah Nuren yang berlarian diantara tanaman nanas seolah menghilangkan sakit akibat tertusuk duri daun nanas yang makin meninggi.

Tapi kebahagiaan Nuren, ayah dan ibunya tidak berlangsung lama. Saat Nuren berusia 3 tahun, ibunya jatuh sakit dan meninggal. Kesedihan yang teramat sangat melanda keluarga itu. Sebagai warisan beliau meninggalkan bibit-bibit nanas emas dengan rasa terlezat. Karena tidak bisa mengurus Nuren yang masih kecil, ayah Nuren menikah lagi dengan wanita sederhana. Dari pernikahan itu lahirnya Renggalis. Ibu tiri Nuren menyayanginya sama seperti menyayangi Renggalis. Kebahagiaan Nuren berangsur pulih kembali.
Dibandingkan Nuren, Renggalis tidak terlalu pandai bertani. Ia lebih suka membantu ibu membereskan pekerjaan rumah. Saat Nuren dan ayah bekerja di kebun memelihara tanaman nanas emas mendiang ibu Nuren, Renggalis akan menyiapkan segala sesuatu di rumah sehingga saat kakak dan ayahnya pulang mereka dapat makan dan beristirahat dengan gembira.

Suatu hari, saat Nuren sedang berada di kebun membersihkan rumput-rumput disela-sela tanaman nanas, Renggalis datang tergopoh-gopoh.
"Ayuk, ayuk. Ayuk Nuren," serunya. "Aku punya kabar bagus."
"Kabar bagus apa 'dik?" Tanya Nuren sambil menghentikan pekerjaannya.
"Tadi di pasar, orang-orang sedang membicarakan sayembara. Tuan tanah kampung seberang akan memberikan sekarung kepingan emas bagi siapa yang bisa membawakan nanas paling manis dan segar."
"Sekarung kepingan emas?" sahut Nuren.
"Iya. Bukankah nanas ayuk Nuren rasanya manis dan segar dan belum pernah kita jual kepasar sekalipun. Sebentar lagi panen besar tiba. Aku yakin nanas ayuk Nuren akan menjadi pemenangnya."
"Kalaupun itu benar, Tuhan pasti sudah mendengar doa kita. Ayah dan ibu pasti senang sekali mendengar hal ini," jawab Nuren.
"Iya yuk, ayo kita kasih tahu mereka." Rengganis membantu Nuren membereskan peralatan berkebun. Mereka bergegas pulang. Tawa mereka terdengar nyaring saat kaki-kaki mereka yang lincah melompati tanaman-tanaman nanas yang baru tumbuh. Renggalis mengenggam tangan Nuren erat-erat, ia bahagia sekali membayangkan kakaknya akan menjadi pemenang sayembara.

Setiba dirumah, Renggalis segera menceritakan apa yang ia tahu kepada orang tua mereka. Ayah dan ibu juga merasa bahagia. Mereka menyuruh Nuren dan Renggalis untuk tidur supaya esok hari bisa mengantarkan nanas emas mereka untuk mengikuti sayembara. Pagi-pagi sekali Nuren dan Renggalis berangkat ke pasar dan mencari tahu tentang sayembara itu. Setelah bertemu dengan orang kepercayaan tuan tanah seberang, mereka dipersilahkan pulang setelah memberikan keterangan tentang siapa mereka dan dimana mereka tinggal. Mereka diminta menunggu 3 hari sampai seminggu karena peserta sayembara datang dari seluruh wilayah Prabumulih.

Rengganis yakin sekali kakaknya menang. Setiap hari itu-itu saja yang dibicarakannya. Pada hari ke lima sejak mereka menunggu, seorang utusan datang ke perkebunan mereka untuk menyaksikan sendiri asal dari nanas emas dengan rasa manis yang segar.
"Setelah menyaksikan sendiri dengan mata kepala, kami percaya bahwa nona Nuren adalah pemilik nanas emas dengan rasa manis dan segar," kata orang kepercayaan tuan tanah kampung seberang.
"Untuk itu kami menggundang nona Nuren untuk datang paling lambat dalam 2 hari untuk mengambil hadiahnya yaitu sekarung kepingan emas."
"Horeeeee," teriak Rengganis kegirangan. "Ayuk Nuren menang. Ayuk Nuren menang." Orang kepercayaan tuan tanah kampung seberang mengingatkan Nuren untuk membawa sekarung nanas emas sebagai ganti hadiahnya saat ia datang.

Malam itu Nuren tidur dengan bahagia. Dia bermimpi berada dipelukan mendiang ibunya. Rasanya sangat nyaman. Pagi-pagi sebelum Nuren berangkat, ibu menyiapkan bekal kue selai nanas kesukaan Nuren kalau-kalau ia lapar di jalan. Saat Nuren masih tertidur pulas, pelan-pelan Ibu membangunkan Rengganis tanpa membuat suara sedikitpun dan mengajaknya berbicara di belakang rumah.
"Ada apa bu?" Tanya Rengganis. "Mengapa ibu mengajakku berbicara di belakang rumah?"
Ibu memegang tangan Rengganis erat-erat. Ia berkata pelan namun sangat jelas.
"Ibu ingin kamu memberikan bekal kue selai nanas kepada ayukmu Nuren. Pastikan ia memakan kue selai dalam bungkusan warna hijau. Ibu sudah memberinya racun," kata ibu.
"Apa 'bu?" Rengganis terbelalak. "Apa maksud ibu? Mengapa ibu begitu jahat? Aku pikir ibu sayang kepada ayuk Nuren," kata Rengganis setengah berteriak.
"Ya, ibu sayang padanya. Tapi ibu lebih menyayangimu sebagai anak kandung ibu. Lakukan apa yang ibu suruh. Jangan membantah. Kalau ini terbongkar, kita berdua bisa dapat masalah." Ibu membiarkan Rengganis menangis sebelum memerintahkannya berhenti dan menemui Nuren untuk menyerahkan bekal kue selai nanas.

Bingung tidak tahu harus berbuat apa, Rengganis menemui Nuren. Perintah ibunya terngiang-ngiang dikepalanya dan membuatnya pusing.
"Rengganis, apa yang kau mau setelah aku membawa pulang kepingan emasnya?" tanya Nuren tidak curiga. "Apa kamu mau baju indah yang dijual ditoko sebelah warung manisan? Atau sepatu warna merah yang sudah lama kau inginkan?" tanya Nuren lagi.
"Aku tidak mau apa-apa 'yuk," jawab Rengganis lirih.
"Ah kamu ini. Jangan malu-malu. Tentu semua kebagian. Ayah, ibu, kamu semuanya. Aku sayang kalian semua," Nuren terdengar senang sekali.
"Aku cuma mau ayuk Nuren pulang dengan selamat. Aku dengar jalan ke kampung seberang itu kadang ada orang jahat," lirih Rengganis dengan suara bergetar.
"Jangan kuatir. Ayah akan mengantarkanku bertemu dengan orang kepercayaan tuan tanah itu. Dan ia akan mengantarkanku sampai di rumah kembali dengan selamat. Benar kamu tidak mau apa-apa. Kalau kamu berubah pikiran, beri tahu segera ya."
"Ada yuk. Aku mau sesuatu," jawab Rengganis.
"Sebutkan saja adikku."
"Aku mau semua kue selai nanas ditempat biru yang dibuat ibu untuk ayuk. Aku mau semuanya."
"Wah kamu ini serakah sekali. Masa mau makan semuanya. Aku juga mau."
"Tidak boleh." Rengganis merampas kue selai nanas dan dihadapan Nuren ia menghabiskan semuanya.
"Wah kamu lapar rupanya," kata Nuren sambil mengusap-usap kepala Rengganis.
"Sudahlah 'yuk. Cepatlah pergi. Ayah sudah menunggu. Jangan sampai terlambat," kata Rengganis menahan air matanya.
"Baiklah. Jangan sedih 'ya. Aku 'kan pergi tidak lama. Jaga rumah. Jaga ibu ya.."

Saat Nuren sudah berlalu dari hadapannya, Rengganis menangis sejadi-jadinya.
Berlari ia datang kepada ibunya yang sedang memasak di dapur. Ibu tampak tenang menghadapi Rengganis yang panik.
"Ibu, aku tidak bisa. Aku tidak tega membunuh ayuk Nuren. Dia ayuk yang baik. Aku sudah makan semua kue beracun itu. Kalau aku mati, ibu sayangi ayuk Nuren seperti ibu menyayangiku. Jangan sia-siakan dia. Ayuk Nuren tidak pantas mati seperti ini." Rengganis menangis terisak-isak.
"Anak bodoh," kata ibu. "Jadi kamu yang makan sendiri kue selai nanas di tempat biru itu?"
"Iya bu. Biar aku saja yang mati. Aku tidak tega melakukannya pada ayuk Nuren." Rengganis makin tersedu-sedu. Ia mulai takut menghadapi kematian.
Ibu mengangkat kepala Rengganis untuk menatap wajah ibunya.
"Dengar Rengganis anakku. Tidak ada racun di kue selai nanas itu. Ibu hanya mengujimu."
"Mengujiku bu?" Tanya Rengganis heran. "Apa maksud ibu?"
"Ibu mau tahu apakah kamu tulus mengasihi ayukmu. Ibu mau tahu apakah kamu menjadi iri dengan kemujuran yang didapatkan ayukmu dan memusuhinya atau tidak. Ternyata kamu adalah adik yang tulus mengasihi saudaramu. Ibu bangga padamu."
Ibu memeluk Rengganis erat-erat dan bersyukur memiliki dua putri yang saling menyayangi.
Besoknya saat Nuren pulang dengan sekarung kepingan emas, semua keluarga menyambut gembira. Dari kejauhan buah nanas emas yang menguning tampak ranum diantara hijau daunnya yang meruncing. Sejak saat itu setiap orang menemukan buah nanas manis segar, mereka akan teringat akan cerita kasih sayang diantara dua kakak beradik yang tulus mencintai.

Jumat, 25 Januari 2013

Kisah Sebatang Pohon Rambutan Tua

Alkisah sebatang pohon rambutan tua
Tumbuh diantara rumput-rumput yang serut
Dan berteman dengan debu yang melayang-layang
Saat warna jingga surya meredup makin ke ujung
Ketika siang nyaris habis termakan waktu

Dituturkannya tentang satu rindu yang tidak berkesudahan
Dari seorang wanita renta kepada anaknya
Dari seorang wanita muda kepada kekasihnya
Dari seorang wanita belia kepada harapan-harapannya
Dari dalamnya senilai sebuah jiwa

Daun-daun yang jatuh menjadi sebentuk sedih
Tidak tergapai oleh mimpi terindah di malam terpanjang
Karena kerontang kemarau menyisakan serpihan coklat tua
Di sisa daun-daun yang harus rela terbakar bara
Sebagai pengusir nyamuk di malam yang berangsur punah
Menyisakan abu cerita tentang kematian cinta yang tragis
Oleh siksaan pedih penghinaan akan ketulusan dan pengabdian
Di jelaga pekat langit bulan Januari yang tidak lagi menantikan pagi

Pohon rambutan tua itu seolah berbicara dan bertanya
Mengapa begitu susah mengejawantahkan esensi nurani
Saat semestinya kata-kata menyusun utuh makna kau dan aku
Mengapa jalinan-jalinan pengertian 'tak kunjung terurai
Saat seharusnya pengertian itu menjadi jalinan baru, bukan mengusut dan semakin kusut
Mengapa mimpi-mimpi hanya sekedar mimpi-mimpi
Saat sepatutnya ia berbicara tentang dunia imaji yang lebih nyata

Lelah ya, katanya....
Rasanya tidur dalam istirahat panjang menjadi pilihan lebih baik
Untuk menemani suksma yang sudah berpisah dengan raga sewindu bahkan seabad lalu
Tapi perjalanan menuju keabadian itu menyakitkan
Peluhku 'tak kuasa menghabiskan barang sedetik
Untuk berdiang dilamanya titik nol
Beku, bisu, biru...

Pohon rambutan itu terpekur
Menghabiskan seribu purnama dalam diam yang membahana
Mengisi ruang-ruang yang kosong dengan jawaban-jawaban
Yang ditemui saat jiwa keduanya berangsur memutih
Energi yang mendadak terisi ketika warna matahari adalah keperakan

Dahagaku, ucapnya..
Adalah pada sebuah oase di malam jutaan bintang
Adalah pada rintik hujan perlahan di pagi berselimutkan sejuk
Adalah pada mekarnya teratai merah di kolam depan rumah
Adalah pada diam yang menjamin semua pengertian

Pohon rambutan itu lalu hancur oleh waktu
Seiring rindu wanita tua pada anaknya yang terlekang oleh jumawa
Terkikis oleh percik kecewa wanita muda pada kekasihnya
Terpuing remuk bersama hilangnya harapan wanita belia

Tinggal aku yang berdiri bertanya
Digundukan bekas pohon rambutan tua
Dengan lubang menganga di tanah
Sebesar lubang menganga di jiwa
Yang berakhir sama seperti alkisah sebatang rambutan tua

Jakarta, 25 Januari 2013

*Pohon rambutan tua, pohon simbol masa kanak-kanak di Jalan Nanas Prabumulih, milik mbah putri yang menyimpan catatan semua kenakalan dan harapan kami.


Minggu, 06 Januari 2013

Jiwa Gunung Andalis

Ide Cerita : Yitzhak Manalu


Dulu sekali, saat kekuatan alam yang ajaib memberikan kehidupan pada semua benda, hiduplah dua balon bernama Taisa dan Kalis. Mereka tinggal di lereng gunung Andalis bersama binatang-binatang dan bunga-bunga yang indah. Taisa adalah balon yang tidak suka tergesa-gesa. Ia menghabiskan waktunya dengan terbang rendah untuk melihat-lihat mahluk lain yang bisa dibantu. Sementara Kalis adalah balon yang selalu terburu-buru dan senang terbang tinggi untuk menunjukkan kehebatannya.

Sebelum orang tua Taisa dan Kalis menyatu dengan alam, mereka menitipkan Taisa dan Kalis pada Bapak dan Ibu Pelatuk. Taisa dan Kalis berteman dengan Tiko si tikus tanah yang selalu menceritakan kabar dari dalam tanah. Dan jika mereka beruntung mereka dapat bertemu dengan Pak Kuri si landak. Taisa dan Kalis suka menghabiskan waktu mendengarkan cerita Pak Kuri tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di masa lalu. Sayangnya Pak Kuri tidak bisa setiap saat ditemui karena ia seekor landak penyendiri.

Sejak masih kecil Taisa dan Kalis sudah diberitahu bahwa suatu hari mereka harus melakukan sesuatu untuk kebaikan alam. Taisa percaya bahwa kebaikan itu berupa pertolongan yang harus diberikan pada yang membutuhkan. Karena itu Taisa selalu terbang berputar-putar dilereng bukit dan berusaha membantu hewan atau tumbuhan disana. Sementara Kalis berpikir bahwa kebaikan yang harus dilakukan adalah dengan menjadi yang pertama dan terbaik. Setiap hari ia mengasah keahlian terbangnya. Ia selalu terbang tinggi untuk menyamai pohon cemara yang tumbuh di puncak gunung. Diam-diam ia ingin terbang lebih tinggi sampai ke awan.

Pagi itu saat udara yang segar menyambut, Kalis sudah berada di antara pohon-pohon akasia.
"Sebaiknya kau tidak terbang tinggi hari ini," kata Ibu Pelatuk. "Angin sepertinya akan bertiup sangat kencang. Kau akan terbawa sampai jauh dan tidak bisa pulang."
"Ah, ibu terlalu kuatir. Aku 'kan bukan pertama kali ini terbang. Pohon cemara yang paling tinggi saja sudah ku kalahkan. Apa susahnya menaklukan angin?" jawab Kalis.
"Ibu hanya ingin kau waspada Kalis," kata Ibu Pelatuk menasehati.
"Tenang saja bu. Aku balon paling hebat di Gunung Andalis. Aku pasti bisa menjaga diri."
Ibu Pelatuk menghela nafas. Dalam hati ia tahu Kalis akan mendapatkan masalah karena sifat sombongnya itu.

Malam itu bulan sabit muda bersinar. Bintang tampak berkelap-kelip dari kejauhan. Taisa terbang pelan-pelan diantara pepohonan memandang ke arah timur. Ia bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya untuk kebaikan alam. Tiba-tiba dari arah belakang, Tiko memanggilnya.
"Ada apa Tiko?" tanya Taisa. "Kau tampak bersemangat sekali."
"Aku mendengar kabar yang seru," kata Tiko.
"Tentang apa?" tanya Taisa.
"Hewan-hewan di dalam gunung berkata bahwa mereka melihat sesuatu yang berkilau."
"Sesuatu yang berkilau?"
"Ya, indah dan menakjubkan."
"Mungkinkah itu jiwa Gunung Andalis?" Kata Taisa bergumam.
"Jiwa Gunung Andalis?" tiba-tiba Kalis sudah berada di hadapan Taisa dan Tiko. "Kau percaya dongeng yang diceritakan Pak Kuri?" kata Kalis sambil terbahak.
"Aku juga percaya," potong Tiko sebelum Taisa berkomentar. "Sebagian besar penghuni lereng gunung juga percaya itu."
"Ya ya ya, kalian mungkin sedikit bodoh mempercayai dongeng tentang Jiwa Gunung Andalis yang menunggu Sang Pembebas untuk memberikan kebaikan pada seluruh alam," kata Kalis. Tiko melotot tidak senang.
"Itu bukan dongeng isapan jempol Kalis," kata Taisa dengan perlahan. "Aku bisa merasakan bahwa itu benar dan keberadaan kita disini berhubungan dengan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Kalis pada Taisa. Taisa diam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Maksud Taisa adalah bahwa kalian berhubungan dengan jiwa Gunung Andalis yang menunggu untuk dibebaskan," sebuah suara muncul dari kegelapan. Tiko, Taisa, dan Kalis terkejut melihat Pak Kuri muncul dari balik semak-semak. "Taisa dan Kalis adalah calon Sang Pembebas."
"Apa?" kata Taisa dan Kalis serempak. Taisa menunjukkan ekspresi tidak percaya sementara Kalis tertawa kegirangan.
(...bersambung...)

Rabu, 12 Oktober 2011

Menyoal Sri

Ngomong-ngomong soal Sri
Aku teringat fenomena alam yang menakjubkan
Badai di tengah hari...
Guruh dan gunturnya melambangkan suaranya yang mengelegar...
Kilatan cahaya melambangkan sorot mata yang tajam...
Hembusan angin melambangkan kata-katanya yang mengiris-iris hati sampai tipis...pis..pis..pis...
Dan, lalu, kemudian, setelah itu,turunlah hujan dihati para seteru...
Dalam sanubari mereka berjanji
"Gak akan berurusan dengan Sri lagi!!!"

Ngomong-ngomong soal Sri,
Aku teringat film horor Indonesia
Ya bangsanya kuntilanak, pocong, wewe gombel, atau suster ngesot 'gitu deh.
Semuanya bikin ngeri
Dan aku sering terngeri-ngeri karena Sri
Bukan...bukan...karena wajahnya yang seram
Tapi karena suara dan gaya ketawanya
Membuat para hantu itu memilih pergi
Gak kuat bersaing dengan Sri

Ngomong-ngomong soal Sri
Aku teringat dengan darah tinggi
Hm...ya 'gak heran lagi
Tapi aku tahu dalam hati
Jauh di lubuk nurani
Sri mengerti
Kalau dia nggak mau cepat mati
Dia harus banyak mengurangi
Makanan-makanan berkolestrol tinggi
Marah-marah 'gak ada arti
Juga menebar lirikan maut kesana sini

Ngomong-ngomong soal Sri
Aku teringat gaya kuno yang sudah pasti
Pernahkah kau menyadari?
Bahwa Sri selalu mengoleksi
Tustel kuno yang selalu berbunyi
Setiap jepretan beraksi
...
Pernahkah kau menyadari?
Saat kesempatan datang
Ia lalu berpikir matang-matang
Untuk memberi kamera untuk berpetualang
Tapi tetap saja....
Batere-nya segede gaban

Tapi kalau aku diajak ngomong-ngomong soal Sri,
Aku juga akan teringat pelangi
Yang nyata indah saat hujan reda
Karena dia selalu menebar cinta (dimana-mana)
Dengan semangkuk puding tanpa gula
Dengan hadiah-hadiah kecil penuh makna
Dengan masakan tak bergaram
Dengan traktiran
Dengan pesan "Nggak pake lama dan bawa kembalian."
Juga dengan sms bertubi-tubi
Jika sedang marah, bahagia, atau sedih

Kalau aku diajak ngomong-ngomong soal Sri
Aku pasti akan mengenang banyak hal
Bukan kegarangannya
Bukan hardikannya
Bukan sikap kasarnya
Bukan lirikan matanya
Bukan gaya songgongnya
Bukan juga hutangnya
...
Tapi aku akan mengenang...
Kata-kata penghiburannya
Sikap manis dan ramahnya
Pelukan hangatnya
Perhatiannya yang tiada tara
Jiwa besarnya
Sifat pengampunannya
Dan...cintanya...
Ya cintanya...

Karena cinta akan membuat kita selalu bersama-sama
Meski aku di sini dan kau di sana
Karena cinta akan membuat kita melupakan
Hal buruk di belakang dan melihat ke depan
Janji Indah Tuhan
Yang sudah disiapkan

Karena cinta akan membuat kita bertahan
Meski aral dan rintangan enggan digoyahkan
Meski kadang pahit kenyataan
Membuat kita jatuh dan kehilangan pegangan
Meski air mata satu satu jatuh perlahan

Kalau aku diajak ngomong-ngomong soal Sri
Aku pasti akan berseri-seri
Karena Sri akan tetap tinggal di sini
Di dalam hati....

Jakarta, 17 Juni 2011

Tapi Aku Tahu Dia Tahu

Aku tidak tahu apa-apa lagi tentangmu Arlaine....
Ya...tidak tahu apa-apa lagi
Karena perjumpaan dan pertemuan kita
Tak lebih banyak dari butir-butir Pancasila
Apalagi bilangan sempurna
Hanya eka, dwi, atau tri
Akupun tak ingat lagi...

Fesbuk mungkin lebih mengenalmu, Arlaine...
Karena padanya kau ceritakan mimpi,
Resolusi,
Janji,
Transformasi
Yang mengubah dimensi dan ruang waktu
Dari mengenalmu ....
Menjadi menerka apa yang terjadi padamu
Menerka kalau kau sekarang sering melalang buana
Lalu mengupload foto-foto yang bikin iri
Dengan gaya yang masih sama...
Ya masih tetap sama...
Mengkampanyekan kekuatan wanita yang bisa tetap berkarya,
meski kadang aku bertanya-tanya..
Arlaine berkarya demi pelayanan atau...
Hm..demi hura-hura belaka hahahaha...

Aku tak tahu apa yang terjadi padamu, Arlaine....
Apakah waktu di bawah matahari mengikis gundahmu?
Apakah udara kental yg kadang pekat meleburkan semua kecewamu?
Apakah air mata yang mungkin ada,
Bisa mengurai pedih yang terasa,
Saat keinginan membentur karang kenyataan
Yang terlalu pahit untuk ditelan atau dimuntahkan?

Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padamu, Arlaine...
Apakah ulat yang pernah kita bicarakan dulu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu?
Apakah bencimu pada coklat masih melekat?
Seperti rasa kasihmu pada sepiring sambal merah masih tetap sama?
Apakah kadar narsismu tetap masih berskala sama, berkurang sedikit, atau justru bermultiplikasi menjadi tak terkendali?

Aku benar-benar tidak tahu, Arlaine...
Tentang dirimu, apalagi tentang kisah cintamu...
Aku benar-benar tidak tahu tentang dirimu, Arlaine...
Tidak tahu...
Dan mungkin tidak pernah tahu...

Tapi aku tahu Dia tahu.
Aku tahu bahwa Dia sang pemberi hidup itu tahu..
Seperti apa rupa hatimu...
Seperti apa warna sedihmu...
Seperti apa percikan bahagiamu yang kau bagi dengan kami semua di sini
Aku tahu bahwa meski puisiku tak selalu hadir setiap waktu kau bertutur tentang ulang tahun
Dia yang menanugerahimu keindahan kasih akan senantiasa utuh menemani.

Aku tahu bahwa hidupmu akan nyata penuh warna
Bila ketulusan dan cinta menjadi sumbernya
Aku tahu bahwa puisi-puisiku akan berakhir
Dan berhenti memberikan arti suatu saat nanti...
Tapi yakinlah..
Hiidupmu akan tetap menebarkan makna jika engkau PERCAYA...

Sajak Pengharapan

Kami ingin menyentuh hadirMu Tuhan
Pada malam ke-dua belas tahun
Yang kami habiskan dalam kegundahan
Dengan kegusaran
Dengan kecemasan
Dengan kekuatiran

Namun juga dengan satu harapan

Kami ingin bercakap denganMu Tuhan
Menuturkan kerinduan yang menggumpal
Akan kebersamaan yang nyata indah
Ketika mata, hati, dan jiwa
Bersatu mengikis keluh
Yang  terkadang menyelinap diantara udara
Saat waktu terasa semakin jauh

Kami ingin datang kepadaMu Tuhan
Mendekatkan raga kami yang mulai lelah
Lelah karena kami enggan menjadi bijak
Lelah karena kami tepiskan hikmatMu
Lelah karena kami manusia
Yang hanyut dalam dekapan dosa

Kami ingin mengenang rahmatMu Tuhan
Pada setiap berkat yang tercurah
Di  perjalanan satu setengah windu
Betapa Engkau telah memuliakan kami
Di bumi yang berangsur tua ini

Kami ingin bersamaMu
Saat kami melipat tangan
Saat  kami memejamkan mata
Saat  menundukkan kepala
Juga ketika kami menekuk lutut
Dan mulai berbicara

Kami ingin menutup mata dunia kami Tuhan
Dan memandang agung ke hadiratMu
Saat Sang Penebus datang menyibak awan
Membahanakan sangkakala
Menggemakan sukacita
Sambil menggenggam keselamatan
Saat Yesus datang

Kami ingin mengimani janjiMu Tuhan Engkau tetap mencintai
Kami ingin meyakini keyakinan Engkau selalu mengiringi
Meski rindu yang kami miliki
Belum utuh terpenuhi

Biarlah Makarios menyuarakan kebahagiaan
Yang terwujud dari serpihan pengembaraan
Tetaplah Makarios menebar kasih
Dari setiap peristiwa terentang 4380 hari
Senantiasalah Makarios memegang janji
Untuk setia, mulia, dan bersahaja
Teruslah Makarios mewartakan kebenaran

Hingga Yesus datang

Sabat, 23 Oktober 2010