Alkisah sebatang pohon rambutan tua
Tumbuh diantara rumput-rumput yang serut
Dan berteman dengan debu yang melayang-layang
Saat warna jingga surya meredup makin ke ujung
Ketika siang nyaris habis termakan waktu
Dituturkannya tentang satu rindu yang tidak berkesudahan
Dari seorang wanita renta kepada anaknya
Dari seorang wanita muda kepada kekasihnya
Dari seorang wanita belia kepada harapan-harapannya
Dari dalamnya senilai sebuah jiwa
Daun-daun yang jatuh menjadi sebentuk sedih
Tidak tergapai oleh mimpi terindah di malam terpanjang
Karena kerontang kemarau menyisakan serpihan coklat tua
Di sisa daun-daun yang harus rela terbakar bara
Sebagai pengusir nyamuk di malam yang berangsur punah
Menyisakan abu cerita tentang kematian cinta yang tragis
Oleh siksaan pedih penghinaan akan ketulusan dan pengabdian
Di jelaga pekat langit bulan Januari yang tidak lagi menantikan pagi
Pohon rambutan tua itu seolah berbicara dan bertanya
Mengapa begitu susah mengejawantahkan esensi nurani
Saat semestinya kata-kata menyusun utuh makna kau dan aku
Mengapa jalinan-jalinan pengertian 'tak kunjung terurai
Saat seharusnya pengertian itu menjadi jalinan baru, bukan mengusut dan semakin kusut
Mengapa mimpi-mimpi hanya sekedar mimpi-mimpi
Saat sepatutnya ia berbicara tentang dunia imaji yang lebih nyata
Lelah ya, katanya....
Rasanya tidur dalam istirahat panjang menjadi pilihan lebih baik
Untuk menemani suksma yang sudah berpisah dengan raga sewindu bahkan seabad lalu
Tapi perjalanan menuju keabadian itu menyakitkan
Peluhku 'tak kuasa menghabiskan barang sedetik
Untuk berdiang dilamanya titik nol
Beku, bisu, biru...
Pohon rambutan itu terpekur
Menghabiskan seribu purnama dalam diam yang membahana
Mengisi ruang-ruang yang kosong dengan jawaban-jawaban
Yang ditemui saat jiwa keduanya berangsur memutih
Energi yang mendadak terisi ketika warna matahari adalah keperakan
Dahagaku, ucapnya..
Adalah pada sebuah oase di malam jutaan bintang
Adalah pada rintik hujan perlahan di pagi berselimutkan sejuk
Adalah pada mekarnya teratai merah di kolam depan rumah
Adalah pada diam yang menjamin semua pengertian
Pohon rambutan itu lalu hancur oleh waktu
Seiring rindu wanita tua pada anaknya yang terlekang oleh jumawa
Terkikis oleh percik kecewa wanita muda pada kekasihnya
Terpuing remuk bersama hilangnya harapan wanita belia
Tinggal aku yang berdiri bertanya
Digundukan bekas pohon rambutan tua
Dengan lubang menganga di tanah
Sebesar lubang menganga di jiwa
Yang berakhir sama seperti alkisah sebatang rambutan tua
Jakarta, 25 Januari 2013
*Pohon rambutan tua, pohon simbol masa kanak-kanak di Jalan Nanas Prabumulih, milik mbah putri yang menyimpan catatan semua kenakalan dan harapan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar