Senin, 11 Februari 2013

Alkisah diceritakan dulu sekali oleh nenek buyut kepada cucunya tinggal dua kakak beradik perempuan bernama Nuren dan Renggalis. Mereka tinggal di sebuah kota kecil yang sekarang di sebut Prabumulih, sebuah kota di Sumatera Selatan. Kota kecil dengan perkebunan nanas yang terhampar luas. Nuren dan Renggalis tinggal di satu sudut kampung bersama kedua orang tua yang mengasihi mereka. Usia mereka bertaut 5 tahun. Nuren sang kakak adalah anak dari pernikahan ayah mereka dengan seorang wanita kaya bangsawan. Karena ayah adalah seorang petani nanas yang sederhana, keluarga ibu Nuren tidak menyetujui pernikahan itu. Mereka tidak lagi mengakui ibu Nuren sebagai anak. Namun karena ayah Nuren adalah laki-laki yang baik, ibu Nuren merelakan kehilangan segalanya untuk tinggal bersama suami dan putri kecil mereka yang cantik di perkebunan nanas di sudut kampungPrabumulih. Cinta dalam keluarga kecil itu menambahkan kebahagiaan pada hidup mereka.

Nuren kecil tumbuh dengan kecintaannya pada tanaman buah nanas sama seperti ayahnya. Ia begitu senang memerhatikan buah kecil bermahkota itu muncul dari sela-sela daun panjangnya yang berduri. Cahaya matahari pagi dan senja memantulkan warna keemasan nanas-nanas yang siap dipanen. Sering sekali ibu Nuren menasehatinya supaya berhati-hati karena tanaman nanas itu bisa menyakitinya. Tawa renyah Nuren yang berlarian diantara tanaman nanas seolah menghilangkan sakit akibat tertusuk duri daun nanas yang makin meninggi.

Tapi kebahagiaan Nuren, ayah dan ibunya tidak berlangsung lama. Saat Nuren berusia 3 tahun, ibunya jatuh sakit dan meninggal. Kesedihan yang teramat sangat melanda keluarga itu. Sebagai warisan beliau meninggalkan bibit-bibit nanas emas dengan rasa terlezat. Karena tidak bisa mengurus Nuren yang masih kecil, ayah Nuren menikah lagi dengan wanita sederhana. Dari pernikahan itu lahirnya Renggalis. Ibu tiri Nuren menyayanginya sama seperti menyayangi Renggalis. Kebahagiaan Nuren berangsur pulih kembali.
Dibandingkan Nuren, Renggalis tidak terlalu pandai bertani. Ia lebih suka membantu ibu membereskan pekerjaan rumah. Saat Nuren dan ayah bekerja di kebun memelihara tanaman nanas emas mendiang ibu Nuren, Renggalis akan menyiapkan segala sesuatu di rumah sehingga saat kakak dan ayahnya pulang mereka dapat makan dan beristirahat dengan gembira.

Suatu hari, saat Nuren sedang berada di kebun membersihkan rumput-rumput disela-sela tanaman nanas, Renggalis datang tergopoh-gopoh.
"Ayuk, ayuk. Ayuk Nuren," serunya. "Aku punya kabar bagus."
"Kabar bagus apa 'dik?" Tanya Nuren sambil menghentikan pekerjaannya.
"Tadi di pasar, orang-orang sedang membicarakan sayembara. Tuan tanah kampung seberang akan memberikan sekarung kepingan emas bagi siapa yang bisa membawakan nanas paling manis dan segar."
"Sekarung kepingan emas?" sahut Nuren.
"Iya. Bukankah nanas ayuk Nuren rasanya manis dan segar dan belum pernah kita jual kepasar sekalipun. Sebentar lagi panen besar tiba. Aku yakin nanas ayuk Nuren akan menjadi pemenangnya."
"Kalaupun itu benar, Tuhan pasti sudah mendengar doa kita. Ayah dan ibu pasti senang sekali mendengar hal ini," jawab Nuren.
"Iya yuk, ayo kita kasih tahu mereka." Rengganis membantu Nuren membereskan peralatan berkebun. Mereka bergegas pulang. Tawa mereka terdengar nyaring saat kaki-kaki mereka yang lincah melompati tanaman-tanaman nanas yang baru tumbuh. Renggalis mengenggam tangan Nuren erat-erat, ia bahagia sekali membayangkan kakaknya akan menjadi pemenang sayembara.

Setiba dirumah, Renggalis segera menceritakan apa yang ia tahu kepada orang tua mereka. Ayah dan ibu juga merasa bahagia. Mereka menyuruh Nuren dan Renggalis untuk tidur supaya esok hari bisa mengantarkan nanas emas mereka untuk mengikuti sayembara. Pagi-pagi sekali Nuren dan Renggalis berangkat ke pasar dan mencari tahu tentang sayembara itu. Setelah bertemu dengan orang kepercayaan tuan tanah seberang, mereka dipersilahkan pulang setelah memberikan keterangan tentang siapa mereka dan dimana mereka tinggal. Mereka diminta menunggu 3 hari sampai seminggu karena peserta sayembara datang dari seluruh wilayah Prabumulih.

Rengganis yakin sekali kakaknya menang. Setiap hari itu-itu saja yang dibicarakannya. Pada hari ke lima sejak mereka menunggu, seorang utusan datang ke perkebunan mereka untuk menyaksikan sendiri asal dari nanas emas dengan rasa manis yang segar.
"Setelah menyaksikan sendiri dengan mata kepala, kami percaya bahwa nona Nuren adalah pemilik nanas emas dengan rasa manis dan segar," kata orang kepercayaan tuan tanah kampung seberang.
"Untuk itu kami menggundang nona Nuren untuk datang paling lambat dalam 2 hari untuk mengambil hadiahnya yaitu sekarung kepingan emas."
"Horeeeee," teriak Rengganis kegirangan. "Ayuk Nuren menang. Ayuk Nuren menang." Orang kepercayaan tuan tanah kampung seberang mengingatkan Nuren untuk membawa sekarung nanas emas sebagai ganti hadiahnya saat ia datang.

Malam itu Nuren tidur dengan bahagia. Dia bermimpi berada dipelukan mendiang ibunya. Rasanya sangat nyaman. Pagi-pagi sebelum Nuren berangkat, ibu menyiapkan bekal kue selai nanas kesukaan Nuren kalau-kalau ia lapar di jalan. Saat Nuren masih tertidur pulas, pelan-pelan Ibu membangunkan Rengganis tanpa membuat suara sedikitpun dan mengajaknya berbicara di belakang rumah.
"Ada apa bu?" Tanya Rengganis. "Mengapa ibu mengajakku berbicara di belakang rumah?"
Ibu memegang tangan Rengganis erat-erat. Ia berkata pelan namun sangat jelas.
"Ibu ingin kamu memberikan bekal kue selai nanas kepada ayukmu Nuren. Pastikan ia memakan kue selai dalam bungkusan warna hijau. Ibu sudah memberinya racun," kata ibu.
"Apa 'bu?" Rengganis terbelalak. "Apa maksud ibu? Mengapa ibu begitu jahat? Aku pikir ibu sayang kepada ayuk Nuren," kata Rengganis setengah berteriak.
"Ya, ibu sayang padanya. Tapi ibu lebih menyayangimu sebagai anak kandung ibu. Lakukan apa yang ibu suruh. Jangan membantah. Kalau ini terbongkar, kita berdua bisa dapat masalah." Ibu membiarkan Rengganis menangis sebelum memerintahkannya berhenti dan menemui Nuren untuk menyerahkan bekal kue selai nanas.

Bingung tidak tahu harus berbuat apa, Rengganis menemui Nuren. Perintah ibunya terngiang-ngiang dikepalanya dan membuatnya pusing.
"Rengganis, apa yang kau mau setelah aku membawa pulang kepingan emasnya?" tanya Nuren tidak curiga. "Apa kamu mau baju indah yang dijual ditoko sebelah warung manisan? Atau sepatu warna merah yang sudah lama kau inginkan?" tanya Nuren lagi.
"Aku tidak mau apa-apa 'yuk," jawab Rengganis lirih.
"Ah kamu ini. Jangan malu-malu. Tentu semua kebagian. Ayah, ibu, kamu semuanya. Aku sayang kalian semua," Nuren terdengar senang sekali.
"Aku cuma mau ayuk Nuren pulang dengan selamat. Aku dengar jalan ke kampung seberang itu kadang ada orang jahat," lirih Rengganis dengan suara bergetar.
"Jangan kuatir. Ayah akan mengantarkanku bertemu dengan orang kepercayaan tuan tanah itu. Dan ia akan mengantarkanku sampai di rumah kembali dengan selamat. Benar kamu tidak mau apa-apa. Kalau kamu berubah pikiran, beri tahu segera ya."
"Ada yuk. Aku mau sesuatu," jawab Rengganis.
"Sebutkan saja adikku."
"Aku mau semua kue selai nanas ditempat biru yang dibuat ibu untuk ayuk. Aku mau semuanya."
"Wah kamu ini serakah sekali. Masa mau makan semuanya. Aku juga mau."
"Tidak boleh." Rengganis merampas kue selai nanas dan dihadapan Nuren ia menghabiskan semuanya.
"Wah kamu lapar rupanya," kata Nuren sambil mengusap-usap kepala Rengganis.
"Sudahlah 'yuk. Cepatlah pergi. Ayah sudah menunggu. Jangan sampai terlambat," kata Rengganis menahan air matanya.
"Baiklah. Jangan sedih 'ya. Aku 'kan pergi tidak lama. Jaga rumah. Jaga ibu ya.."

Saat Nuren sudah berlalu dari hadapannya, Rengganis menangis sejadi-jadinya.
Berlari ia datang kepada ibunya yang sedang memasak di dapur. Ibu tampak tenang menghadapi Rengganis yang panik.
"Ibu, aku tidak bisa. Aku tidak tega membunuh ayuk Nuren. Dia ayuk yang baik. Aku sudah makan semua kue beracun itu. Kalau aku mati, ibu sayangi ayuk Nuren seperti ibu menyayangiku. Jangan sia-siakan dia. Ayuk Nuren tidak pantas mati seperti ini." Rengganis menangis terisak-isak.
"Anak bodoh," kata ibu. "Jadi kamu yang makan sendiri kue selai nanas di tempat biru itu?"
"Iya bu. Biar aku saja yang mati. Aku tidak tega melakukannya pada ayuk Nuren." Rengganis makin tersedu-sedu. Ia mulai takut menghadapi kematian.
Ibu mengangkat kepala Rengganis untuk menatap wajah ibunya.
"Dengar Rengganis anakku. Tidak ada racun di kue selai nanas itu. Ibu hanya mengujimu."
"Mengujiku bu?" Tanya Rengganis heran. "Apa maksud ibu?"
"Ibu mau tahu apakah kamu tulus mengasihi ayukmu. Ibu mau tahu apakah kamu menjadi iri dengan kemujuran yang didapatkan ayukmu dan memusuhinya atau tidak. Ternyata kamu adalah adik yang tulus mengasihi saudaramu. Ibu bangga padamu."
Ibu memeluk Rengganis erat-erat dan bersyukur memiliki dua putri yang saling menyayangi.
Besoknya saat Nuren pulang dengan sekarung kepingan emas, semua keluarga menyambut gembira. Dari kejauhan buah nanas emas yang menguning tampak ranum diantara hijau daunnya yang meruncing. Sejak saat itu setiap orang menemukan buah nanas manis segar, mereka akan teringat akan cerita kasih sayang diantara dua kakak beradik yang tulus mencintai.

Tidak ada komentar: