Ide Cerita : Yitzhak Manalu
Dulu sekali, saat kekuatan alam yang ajaib memberikan kehidupan pada semua benda, hiduplah dua balon bernama Taisa dan Kalis. Mereka tinggal di lereng gunung Andalis bersama binatang-binatang dan bunga-bunga yang indah. Taisa adalah balon yang tidak suka tergesa-gesa. Ia menghabiskan waktunya dengan terbang rendah untuk melihat-lihat mahluk lain yang bisa dibantu. Sementara Kalis adalah balon yang selalu terburu-buru dan senang terbang tinggi untuk menunjukkan kehebatannya.
Sebelum orang tua Taisa dan Kalis menyatu dengan alam, mereka menitipkan Taisa dan Kalis pada Bapak dan Ibu Pelatuk. Taisa dan Kalis berteman dengan Tiko si tikus tanah yang selalu menceritakan kabar dari dalam tanah. Dan jika mereka beruntung mereka dapat bertemu dengan Pak Kuri si landak. Taisa dan Kalis suka menghabiskan waktu mendengarkan cerita Pak Kuri tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di masa lalu. Sayangnya Pak Kuri tidak bisa setiap saat ditemui karena ia seekor landak penyendiri.
Sejak masih kecil Taisa dan Kalis sudah diberitahu bahwa suatu hari mereka harus melakukan sesuatu untuk kebaikan alam. Taisa percaya bahwa kebaikan itu berupa pertolongan yang harus diberikan pada yang membutuhkan. Karena itu Taisa selalu terbang berputar-putar dilereng bukit dan berusaha membantu hewan atau tumbuhan disana. Sementara Kalis berpikir bahwa kebaikan yang harus dilakukan adalah dengan menjadi yang pertama dan terbaik. Setiap hari ia mengasah keahlian terbangnya. Ia selalu terbang tinggi untuk menyamai pohon cemara yang tumbuh di puncak gunung. Diam-diam ia ingin terbang lebih tinggi sampai ke awan.
Pagi itu saat udara yang segar menyambut, Kalis sudah berada di antara pohon-pohon akasia.
"Sebaiknya kau tidak terbang tinggi hari ini," kata Ibu Pelatuk. "Angin sepertinya akan bertiup sangat kencang. Kau akan terbawa sampai jauh dan tidak bisa pulang."
"Ah, ibu terlalu kuatir. Aku 'kan bukan pertama kali ini terbang. Pohon cemara yang paling tinggi saja sudah ku kalahkan. Apa susahnya menaklukan angin?" jawab Kalis.
"Ibu hanya ingin kau waspada Kalis," kata Ibu Pelatuk menasehati.
"Tenang saja bu. Aku balon paling hebat di Gunung Andalis. Aku pasti bisa menjaga diri."
Ibu Pelatuk menghela nafas. Dalam hati ia tahu Kalis akan mendapatkan masalah karena sifat sombongnya itu.
Malam itu bulan sabit muda bersinar. Bintang tampak berkelap-kelip dari kejauhan. Taisa terbang pelan-pelan diantara pepohonan memandang ke arah timur. Ia bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya untuk kebaikan alam. Tiba-tiba dari arah belakang, Tiko memanggilnya.
"Ada apa Tiko?" tanya Taisa. "Kau tampak bersemangat sekali."
"Aku mendengar kabar yang seru," kata Tiko.
"Tentang apa?" tanya Taisa.
"Hewan-hewan di dalam gunung berkata bahwa mereka melihat sesuatu yang berkilau."
"Sesuatu yang berkilau?"
"Ya, indah dan menakjubkan."
"Mungkinkah itu jiwa Gunung Andalis?" Kata Taisa bergumam.
"Jiwa Gunung Andalis?" tiba-tiba Kalis sudah berada di hadapan Taisa dan Tiko. "Kau percaya dongeng yang diceritakan Pak Kuri?" kata Kalis sambil terbahak.
"Aku juga percaya," potong Tiko sebelum Taisa berkomentar. "Sebagian besar penghuni lereng gunung juga percaya itu."
"Ya ya ya, kalian mungkin sedikit bodoh mempercayai dongeng tentang Jiwa Gunung Andalis yang menunggu Sang Pembebas untuk memberikan kebaikan pada seluruh alam," kata Kalis. Tiko melotot tidak senang.
"Itu bukan dongeng isapan jempol Kalis," kata Taisa dengan perlahan. "Aku bisa merasakan bahwa itu benar dan keberadaan kita disini berhubungan dengan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Kalis pada Taisa. Taisa diam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Maksud Taisa adalah bahwa kalian berhubungan dengan jiwa Gunung Andalis yang menunggu untuk dibebaskan," sebuah suara muncul dari kegelapan. Tiko, Taisa, dan Kalis terkejut melihat Pak Kuri muncul dari balik semak-semak. "Taisa dan Kalis adalah calon Sang Pembebas."
"Apa?" kata Taisa dan Kalis serempak. Taisa menunjukkan ekspresi tidak percaya sementara Kalis tertawa kegirangan.
(...bersambung...)
Dulu sekali, saat kekuatan alam yang ajaib memberikan kehidupan pada semua benda, hiduplah dua balon bernama Taisa dan Kalis. Mereka tinggal di lereng gunung Andalis bersama binatang-binatang dan bunga-bunga yang indah. Taisa adalah balon yang tidak suka tergesa-gesa. Ia menghabiskan waktunya dengan terbang rendah untuk melihat-lihat mahluk lain yang bisa dibantu. Sementara Kalis adalah balon yang selalu terburu-buru dan senang terbang tinggi untuk menunjukkan kehebatannya.
Sebelum orang tua Taisa dan Kalis menyatu dengan alam, mereka menitipkan Taisa dan Kalis pada Bapak dan Ibu Pelatuk. Taisa dan Kalis berteman dengan Tiko si tikus tanah yang selalu menceritakan kabar dari dalam tanah. Dan jika mereka beruntung mereka dapat bertemu dengan Pak Kuri si landak. Taisa dan Kalis suka menghabiskan waktu mendengarkan cerita Pak Kuri tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di masa lalu. Sayangnya Pak Kuri tidak bisa setiap saat ditemui karena ia seekor landak penyendiri.
Sejak masih kecil Taisa dan Kalis sudah diberitahu bahwa suatu hari mereka harus melakukan sesuatu untuk kebaikan alam. Taisa percaya bahwa kebaikan itu berupa pertolongan yang harus diberikan pada yang membutuhkan. Karena itu Taisa selalu terbang berputar-putar dilereng bukit dan berusaha membantu hewan atau tumbuhan disana. Sementara Kalis berpikir bahwa kebaikan yang harus dilakukan adalah dengan menjadi yang pertama dan terbaik. Setiap hari ia mengasah keahlian terbangnya. Ia selalu terbang tinggi untuk menyamai pohon cemara yang tumbuh di puncak gunung. Diam-diam ia ingin terbang lebih tinggi sampai ke awan.
Pagi itu saat udara yang segar menyambut, Kalis sudah berada di antara pohon-pohon akasia.
"Sebaiknya kau tidak terbang tinggi hari ini," kata Ibu Pelatuk. "Angin sepertinya akan bertiup sangat kencang. Kau akan terbawa sampai jauh dan tidak bisa pulang."
"Ah, ibu terlalu kuatir. Aku 'kan bukan pertama kali ini terbang. Pohon cemara yang paling tinggi saja sudah ku kalahkan. Apa susahnya menaklukan angin?" jawab Kalis.
"Ibu hanya ingin kau waspada Kalis," kata Ibu Pelatuk menasehati.
"Tenang saja bu. Aku balon paling hebat di Gunung Andalis. Aku pasti bisa menjaga diri."
Ibu Pelatuk menghela nafas. Dalam hati ia tahu Kalis akan mendapatkan masalah karena sifat sombongnya itu.
Malam itu bulan sabit muda bersinar. Bintang tampak berkelap-kelip dari kejauhan. Taisa terbang pelan-pelan diantara pepohonan memandang ke arah timur. Ia bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya untuk kebaikan alam. Tiba-tiba dari arah belakang, Tiko memanggilnya.
"Ada apa Tiko?" tanya Taisa. "Kau tampak bersemangat sekali."
"Aku mendengar kabar yang seru," kata Tiko.
"Tentang apa?" tanya Taisa.
"Hewan-hewan di dalam gunung berkata bahwa mereka melihat sesuatu yang berkilau."
"Sesuatu yang berkilau?"
"Ya, indah dan menakjubkan."
"Mungkinkah itu jiwa Gunung Andalis?" Kata Taisa bergumam.
"Jiwa Gunung Andalis?" tiba-tiba Kalis sudah berada di hadapan Taisa dan Tiko. "Kau percaya dongeng yang diceritakan Pak Kuri?" kata Kalis sambil terbahak.
"Aku juga percaya," potong Tiko sebelum Taisa berkomentar. "Sebagian besar penghuni lereng gunung juga percaya itu."
"Ya ya ya, kalian mungkin sedikit bodoh mempercayai dongeng tentang Jiwa Gunung Andalis yang menunggu Sang Pembebas untuk memberikan kebaikan pada seluruh alam," kata Kalis. Tiko melotot tidak senang.
"Itu bukan dongeng isapan jempol Kalis," kata Taisa dengan perlahan. "Aku bisa merasakan bahwa itu benar dan keberadaan kita disini berhubungan dengan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Kalis pada Taisa. Taisa diam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Maksud Taisa adalah bahwa kalian berhubungan dengan jiwa Gunung Andalis yang menunggu untuk dibebaskan," sebuah suara muncul dari kegelapan. Tiko, Taisa, dan Kalis terkejut melihat Pak Kuri muncul dari balik semak-semak. "Taisa dan Kalis adalah calon Sang Pembebas."
"Apa?" kata Taisa dan Kalis serempak. Taisa menunjukkan ekspresi tidak percaya sementara Kalis tertawa kegirangan.
(...bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar