Jumat, 25 Januari 2013

Kisah Sebatang Pohon Rambutan Tua

Alkisah sebatang pohon rambutan tua
Tumbuh diantara rumput-rumput yang serut
Dan berteman dengan debu yang melayang-layang
Saat warna jingga surya meredup makin ke ujung
Ketika siang nyaris habis termakan waktu

Dituturkannya tentang satu rindu yang tidak berkesudahan
Dari seorang wanita renta kepada anaknya
Dari seorang wanita muda kepada kekasihnya
Dari seorang wanita belia kepada harapan-harapannya
Dari dalamnya senilai sebuah jiwa

Daun-daun yang jatuh menjadi sebentuk sedih
Tidak tergapai oleh mimpi terindah di malam terpanjang
Karena kerontang kemarau menyisakan serpihan coklat tua
Di sisa daun-daun yang harus rela terbakar bara
Sebagai pengusir nyamuk di malam yang berangsur punah
Menyisakan abu cerita tentang kematian cinta yang tragis
Oleh siksaan pedih penghinaan akan ketulusan dan pengabdian
Di jelaga pekat langit bulan Januari yang tidak lagi menantikan pagi

Pohon rambutan tua itu seolah berbicara dan bertanya
Mengapa begitu susah mengejawantahkan esensi nurani
Saat semestinya kata-kata menyusun utuh makna kau dan aku
Mengapa jalinan-jalinan pengertian 'tak kunjung terurai
Saat seharusnya pengertian itu menjadi jalinan baru, bukan mengusut dan semakin kusut
Mengapa mimpi-mimpi hanya sekedar mimpi-mimpi
Saat sepatutnya ia berbicara tentang dunia imaji yang lebih nyata

Lelah ya, katanya....
Rasanya tidur dalam istirahat panjang menjadi pilihan lebih baik
Untuk menemani suksma yang sudah berpisah dengan raga sewindu bahkan seabad lalu
Tapi perjalanan menuju keabadian itu menyakitkan
Peluhku 'tak kuasa menghabiskan barang sedetik
Untuk berdiang dilamanya titik nol
Beku, bisu, biru...

Pohon rambutan itu terpekur
Menghabiskan seribu purnama dalam diam yang membahana
Mengisi ruang-ruang yang kosong dengan jawaban-jawaban
Yang ditemui saat jiwa keduanya berangsur memutih
Energi yang mendadak terisi ketika warna matahari adalah keperakan

Dahagaku, ucapnya..
Adalah pada sebuah oase di malam jutaan bintang
Adalah pada rintik hujan perlahan di pagi berselimutkan sejuk
Adalah pada mekarnya teratai merah di kolam depan rumah
Adalah pada diam yang menjamin semua pengertian

Pohon rambutan itu lalu hancur oleh waktu
Seiring rindu wanita tua pada anaknya yang terlekang oleh jumawa
Terkikis oleh percik kecewa wanita muda pada kekasihnya
Terpuing remuk bersama hilangnya harapan wanita belia

Tinggal aku yang berdiri bertanya
Digundukan bekas pohon rambutan tua
Dengan lubang menganga di tanah
Sebesar lubang menganga di jiwa
Yang berakhir sama seperti alkisah sebatang rambutan tua

Jakarta, 25 Januari 2013

*Pohon rambutan tua, pohon simbol masa kanak-kanak di Jalan Nanas Prabumulih, milik mbah putri yang menyimpan catatan semua kenakalan dan harapan kami.


Minggu, 06 Januari 2013

Jiwa Gunung Andalis

Ide Cerita : Yitzhak Manalu


Dulu sekali, saat kekuatan alam yang ajaib memberikan kehidupan pada semua benda, hiduplah dua balon bernama Taisa dan Kalis. Mereka tinggal di lereng gunung Andalis bersama binatang-binatang dan bunga-bunga yang indah. Taisa adalah balon yang tidak suka tergesa-gesa. Ia menghabiskan waktunya dengan terbang rendah untuk melihat-lihat mahluk lain yang bisa dibantu. Sementara Kalis adalah balon yang selalu terburu-buru dan senang terbang tinggi untuk menunjukkan kehebatannya.

Sebelum orang tua Taisa dan Kalis menyatu dengan alam, mereka menitipkan Taisa dan Kalis pada Bapak dan Ibu Pelatuk. Taisa dan Kalis berteman dengan Tiko si tikus tanah yang selalu menceritakan kabar dari dalam tanah. Dan jika mereka beruntung mereka dapat bertemu dengan Pak Kuri si landak. Taisa dan Kalis suka menghabiskan waktu mendengarkan cerita Pak Kuri tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di masa lalu. Sayangnya Pak Kuri tidak bisa setiap saat ditemui karena ia seekor landak penyendiri.

Sejak masih kecil Taisa dan Kalis sudah diberitahu bahwa suatu hari mereka harus melakukan sesuatu untuk kebaikan alam. Taisa percaya bahwa kebaikan itu berupa pertolongan yang harus diberikan pada yang membutuhkan. Karena itu Taisa selalu terbang berputar-putar dilereng bukit dan berusaha membantu hewan atau tumbuhan disana. Sementara Kalis berpikir bahwa kebaikan yang harus dilakukan adalah dengan menjadi yang pertama dan terbaik. Setiap hari ia mengasah keahlian terbangnya. Ia selalu terbang tinggi untuk menyamai pohon cemara yang tumbuh di puncak gunung. Diam-diam ia ingin terbang lebih tinggi sampai ke awan.

Pagi itu saat udara yang segar menyambut, Kalis sudah berada di antara pohon-pohon akasia.
"Sebaiknya kau tidak terbang tinggi hari ini," kata Ibu Pelatuk. "Angin sepertinya akan bertiup sangat kencang. Kau akan terbawa sampai jauh dan tidak bisa pulang."
"Ah, ibu terlalu kuatir. Aku 'kan bukan pertama kali ini terbang. Pohon cemara yang paling tinggi saja sudah ku kalahkan. Apa susahnya menaklukan angin?" jawab Kalis.
"Ibu hanya ingin kau waspada Kalis," kata Ibu Pelatuk menasehati.
"Tenang saja bu. Aku balon paling hebat di Gunung Andalis. Aku pasti bisa menjaga diri."
Ibu Pelatuk menghela nafas. Dalam hati ia tahu Kalis akan mendapatkan masalah karena sifat sombongnya itu.

Malam itu bulan sabit muda bersinar. Bintang tampak berkelap-kelip dari kejauhan. Taisa terbang pelan-pelan diantara pepohonan memandang ke arah timur. Ia bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya untuk kebaikan alam. Tiba-tiba dari arah belakang, Tiko memanggilnya.
"Ada apa Tiko?" tanya Taisa. "Kau tampak bersemangat sekali."
"Aku mendengar kabar yang seru," kata Tiko.
"Tentang apa?" tanya Taisa.
"Hewan-hewan di dalam gunung berkata bahwa mereka melihat sesuatu yang berkilau."
"Sesuatu yang berkilau?"
"Ya, indah dan menakjubkan."
"Mungkinkah itu jiwa Gunung Andalis?" Kata Taisa bergumam.
"Jiwa Gunung Andalis?" tiba-tiba Kalis sudah berada di hadapan Taisa dan Tiko. "Kau percaya dongeng yang diceritakan Pak Kuri?" kata Kalis sambil terbahak.
"Aku juga percaya," potong Tiko sebelum Taisa berkomentar. "Sebagian besar penghuni lereng gunung juga percaya itu."
"Ya ya ya, kalian mungkin sedikit bodoh mempercayai dongeng tentang Jiwa Gunung Andalis yang menunggu Sang Pembebas untuk memberikan kebaikan pada seluruh alam," kata Kalis. Tiko melotot tidak senang.
"Itu bukan dongeng isapan jempol Kalis," kata Taisa dengan perlahan. "Aku bisa merasakan bahwa itu benar dan keberadaan kita disini berhubungan dengan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Kalis pada Taisa. Taisa diam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Maksud Taisa adalah bahwa kalian berhubungan dengan jiwa Gunung Andalis yang menunggu untuk dibebaskan," sebuah suara muncul dari kegelapan. Tiko, Taisa, dan Kalis terkejut melihat Pak Kuri muncul dari balik semak-semak. "Taisa dan Kalis adalah calon Sang Pembebas."
"Apa?" kata Taisa dan Kalis serempak. Taisa menunjukkan ekspresi tidak percaya sementara Kalis tertawa kegirangan.
(...bersambung...)