Berdiamlah sejenak, Anom…
Karena bahagia itu berbicara saat sunyi datang
Untuk menebar utuh pengertiannya
Akan romantisme dan aroma cinta
Pada bentang hari yang nyaris habis
Dan seketika akan lebur dalam kemeriahan
Tetaplah berdiam, Anom…
Karena sendiri ini tidak akan menghampiri lagi
Detik demi detik akan berlalu menutup lajangmu
Dan membawa waktu tiba di penghujung
Lalu menutup satu babak cintamu dengan wangi kebersamaan
Nikmati saat berdiammu, Anom…
Serta lukiskan eforia bersama cawan resah atau harapan atau kegundahan atau kepastian
Di udara senja yang terbuka…
Biarkan racikan itu menguap untuk bertemu serpihan-serpihan cinta
Cobalah mendekap diam itu, Anom…
Rasakan kenyamanannya
Dengarkanlah wejangannya
Tentang kekasih sempurna
Tentang istri setia dan bijaksana
Tentang ibu penuh kasih mesra
Tentang wanita yang mulia
Tentang pengabdian dan kepercayaan
Tentang kesedihan dan keceriaan
Tentang warna ungu dan biru kehidupan
Tentang saat keterpurukan dan kesejahteraan
Tentang cinta dan pengorbanan
Hingga maut memisahkan kehidupan
Merenunglah dalam diam, Anom…
Bahwa cinta datang bukan dengan kebetulan
Ia menjumpaimu dalam rencana terbaik
Ia berbicara padamu meski engkau enggan berlama-lama di lapo tuak asli Medan
Ia berbisik dinuranimu walaupun engkau risih dengan perbedaan
Ia mendekap batas mampumu ketika engkau berpeluh dalam penyesuaian
Ia mengukir kenangan saat cinta ‘menjajal’ arti dirinya untuk mempertemukan dua kenyataan
Ia ada saat sepasang jiwa Sirait dan Sianturi bersatu dalam pernikahan
Ucapkan kata perpisahan dengan diam itu, Anom…
Karena penyatuan cinta itu telah menemukan muaranya…
Jakarta, 25 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar