Aku mencoba menghitung kembali waktu
Yang mahadaya mengikrar kita pada rentangan nyaris sewindu
‘tak jua aku temukan haru atau rindu atau kelu atau cemburu
Atas anugerah nyata di antara derak-derak percaya yang senantiasa utuh
Aku menyibak setiap sedih dan gundah saat pengertian terhilang
Bukan oleh gemuruh dendam pun oleh ujaran yang terabaikan
Tapi karena batas angkuh dan hikmat manusia menjelma menjadi karang
Yang membentengi kisah kita lalu menghempaskannya pada nihil kekosongan
Aku mereka-reka kesempatan
Untuk menikmati kesegaran cinta mula-mula
Dan menghirup wangi aroma kehidupan
Saat sunyi senyap menghantar altar berbicara
Aku menyemai semua kesempurnaan
Yang memberi jalan pada paket masa depan
Aku memozaikan iman pada bentangan masa
Yang memutih setiap kali kecewa tercipta
Aku memiliki pengharapan yang diagungkan
Saat muncul bimbang dan keraguan
Aku menikmati kasih saat ia menebar wangi
Untuk memberi jalan pada benih generasi
Aku menuliskan semua mimpi
Aku menyirnakan semua elegi
Aku melukiskan semua rintik hujan pagi hari
Aku menutup diri bagi datangnya sepi
Aku menghirup semua harapan
Aku memuntahkan semua kegundahan
Aku mengenangkan semua kebahagian
Aku meleburkan semua kegalauan
Ketika engkau menjadi titik kepastian
Aku mengenangkan arti dirimu dengan kata-kata
Dalam doa, dalam hadiratNya, dalam malam-malam kebersamaan
Karena mencintaimu adalah udara
Yang akan berakhir saat aku meninggalkan kehidupan
Kembangan, Jakarta 26 Desember 2009 2.18 a.m.
Untuk Ulang Tahun Iyang ke-35
Rabu, 20 Januari 2010
Aku Mentertawakan Waktu
Aku menertawakan waktu
Juga terbahak bersama masa lalu
Yang serupa warna jingga di bawah matahari
Saat aku melepas janji seorang lelaki
Aku berbincang dengan rasa galau dan kegamangan
Bertukar kisah tentang cinta yang beraroma gunung dan sungai
Membawa ke hilir semua hasrat dan meninggalkan jejak makna
Di pelupuk setiap keinginan yang aku sebut kecewa
Aku membiarkan aliran udara membentuk elegi
Yang tertata bak lukisan muda : dengan bunga, embun, dan bias cahaya
Yang redup redam oleh perginya malam
Yang berangsur sirna saat engkau melepas dunia kita
Untuk bertemu dengan hujaman buih di karang dan serpihan iota di jagad raya
Aku berdiang bersama rasa hampa
Bertegur sapa dengan jiwa yang pernah ‘ku kenal sebelumnya
Dalam hitungan selaksa yang runtuh ketika cerita berangsur usai
Lalu lekang oleh jarak, masa dan dimensi yang berusaha bijak menyebut dirinya kehidupan
Melalangbuanalah rasa getir tidak percaya
Meliuk ‘bak asap menemukan jalan ke udara
Meratapi butiran butiran waktu yang terurai
Menjadi jejak di sukma, lalu terbenam dalam diam
Bergeminglah amarahku, berpedarlah dengan kegeraman
Bertemulah pada satu sudut yang aku sebut de ja vu
Yang rasa rasanya aku kenal
Yang rasa rasanya aku pernah alami
Yang rasa rasaya aku rasa sebelumnya
Aku mentertawakan waktu
Dan kembali terbahak bersama masa lalu
Kembangan, 7 Desember 2009
Juga terbahak bersama masa lalu
Yang serupa warna jingga di bawah matahari
Saat aku melepas janji seorang lelaki
Aku berbincang dengan rasa galau dan kegamangan
Bertukar kisah tentang cinta yang beraroma gunung dan sungai
Membawa ke hilir semua hasrat dan meninggalkan jejak makna
Di pelupuk setiap keinginan yang aku sebut kecewa
Aku membiarkan aliran udara membentuk elegi
Yang tertata bak lukisan muda : dengan bunga, embun, dan bias cahaya
Yang redup redam oleh perginya malam
Yang berangsur sirna saat engkau melepas dunia kita
Untuk bertemu dengan hujaman buih di karang dan serpihan iota di jagad raya
Aku berdiang bersama rasa hampa
Bertegur sapa dengan jiwa yang pernah ‘ku kenal sebelumnya
Dalam hitungan selaksa yang runtuh ketika cerita berangsur usai
Lalu lekang oleh jarak, masa dan dimensi yang berusaha bijak menyebut dirinya kehidupan
Melalangbuanalah rasa getir tidak percaya
Meliuk ‘bak asap menemukan jalan ke udara
Meratapi butiran butiran waktu yang terurai
Menjadi jejak di sukma, lalu terbenam dalam diam
Bergeminglah amarahku, berpedarlah dengan kegeraman
Bertemulah pada satu sudut yang aku sebut de ja vu
Yang rasa rasanya aku kenal
Yang rasa rasanya aku pernah alami
Yang rasa rasaya aku rasa sebelumnya
Aku mentertawakan waktu
Dan kembali terbahak bersama masa lalu
Kembangan, 7 Desember 2009
Cinta di Sabtu 27 Juni 2010
Berdiamlah sejenak, Anom…
Karena bahagia itu berbicara saat sunyi datang
Untuk menebar utuh pengertiannya
Akan romantisme dan aroma cinta
Pada bentang hari yang nyaris habis
Dan seketika akan lebur dalam kemeriahan
Tetaplah berdiam, Anom…
Karena sendiri ini tidak akan menghampiri lagi
Detik demi detik akan berlalu menutup lajangmu
Dan membawa waktu tiba di penghujung
Lalu menutup satu babak cintamu dengan wangi kebersamaan
Nikmati saat berdiammu, Anom…
Serta lukiskan eforia bersama cawan resah atau harapan atau kegundahan atau kepastian
Di udara senja yang terbuka…
Biarkan racikan itu menguap untuk bertemu serpihan-serpihan cinta
Cobalah mendekap diam itu, Anom…
Rasakan kenyamanannya
Dengarkanlah wejangannya
Tentang kekasih sempurna
Tentang istri setia dan bijaksana
Tentang ibu penuh kasih mesra
Tentang wanita yang mulia
Tentang pengabdian dan kepercayaan
Tentang kesedihan dan keceriaan
Tentang warna ungu dan biru kehidupan
Tentang saat keterpurukan dan kesejahteraan
Tentang cinta dan pengorbanan
Hingga maut memisahkan kehidupan
Merenunglah dalam diam, Anom…
Bahwa cinta datang bukan dengan kebetulan
Ia menjumpaimu dalam rencana terbaik
Ia berbicara padamu meski engkau enggan berlama-lama di lapo tuak asli Medan
Ia berbisik dinuranimu walaupun engkau risih dengan perbedaan
Ia mendekap batas mampumu ketika engkau berpeluh dalam penyesuaian
Ia mengukir kenangan saat cinta ‘menjajal’ arti dirinya untuk mempertemukan dua kenyataan
Ia ada saat sepasang jiwa Sirait dan Sianturi bersatu dalam pernikahan
Ucapkan kata perpisahan dengan diam itu, Anom…
Karena penyatuan cinta itu telah menemukan muaranya…
Jakarta, 25 Juni 2009
Karena bahagia itu berbicara saat sunyi datang
Untuk menebar utuh pengertiannya
Akan romantisme dan aroma cinta
Pada bentang hari yang nyaris habis
Dan seketika akan lebur dalam kemeriahan
Tetaplah berdiam, Anom…
Karena sendiri ini tidak akan menghampiri lagi
Detik demi detik akan berlalu menutup lajangmu
Dan membawa waktu tiba di penghujung
Lalu menutup satu babak cintamu dengan wangi kebersamaan
Nikmati saat berdiammu, Anom…
Serta lukiskan eforia bersama cawan resah atau harapan atau kegundahan atau kepastian
Di udara senja yang terbuka…
Biarkan racikan itu menguap untuk bertemu serpihan-serpihan cinta
Cobalah mendekap diam itu, Anom…
Rasakan kenyamanannya
Dengarkanlah wejangannya
Tentang kekasih sempurna
Tentang istri setia dan bijaksana
Tentang ibu penuh kasih mesra
Tentang wanita yang mulia
Tentang pengabdian dan kepercayaan
Tentang kesedihan dan keceriaan
Tentang warna ungu dan biru kehidupan
Tentang saat keterpurukan dan kesejahteraan
Tentang cinta dan pengorbanan
Hingga maut memisahkan kehidupan
Merenunglah dalam diam, Anom…
Bahwa cinta datang bukan dengan kebetulan
Ia menjumpaimu dalam rencana terbaik
Ia berbicara padamu meski engkau enggan berlama-lama di lapo tuak asli Medan
Ia berbisik dinuranimu walaupun engkau risih dengan perbedaan
Ia mendekap batas mampumu ketika engkau berpeluh dalam penyesuaian
Ia mengukir kenangan saat cinta ‘menjajal’ arti dirinya untuk mempertemukan dua kenyataan
Ia ada saat sepasang jiwa Sirait dan Sianturi bersatu dalam pernikahan
Ucapkan kata perpisahan dengan diam itu, Anom…
Karena penyatuan cinta itu telah menemukan muaranya…
Jakarta, 25 Juni 2009
Selasa, 19 Januari 2010
Kegundahan Saya
Gundah saya…
Melihat jiwa-jiwa muda itu
Harus membaca dan berhitung
Saat usia belum lagi genap empat tahun
Gundah saya…
Menyaksikan muka-muka lucu itu
Nyaris tanpa ekspresi
Saat aturan ini dan itu
Harus dijalani sepenuh
Gundah saya…
Menyadari masa kecil mereka kehilangan makna
Karena teriakan seru berayun
Pudar karena setumpuk PR
Karena histeria melihat cacing tanah
Hilang karena les-les Matematika dan Bahasa
Karena celoteh riang abang dan upik
Terhapus karena gemuruh tuntutan
Karena senandung ringan saat bermain air, tanah, dan udara
Pupus karena harus menempuh rangkaian ‘tes atau ujian’
Gundah saya…
Karena makna kanak-kanak dan remaja
Mati sebelum waktunya
Gundah benar saya…
Saat ancaman tidak naik kelas dan tidak lulus
Merebut hak mereka untuk menciptakan mozaik keindahan
Yang terpadu elegan karena sikap penerimaan
Yang terlukis tiada terperi oleh motivasi dan kepercayaan
Yang terpapar jelas pada setiap senyum dan dekapan
Yang tersenandung begitu merdu dari kata dan ujaran
Yang terpacu saat bertemu dengan dukungan
Yang nyaris sempurna berkat doa dan harapan
Benar-benar gundah saya…
Melihat tunas-tunas hijau itu
Terbakar matahari keangkuhan
Berbalut prestise, harga diri, dan aktualisasi
Karena bagi saya
Logika perengut kehidupan berbanding sama dengan ketiadaan
Nol, kosong, rapuh, dan hampa
Namun juga bersinonim dengan panen kejutan di masa depan
Saat arti diri berbaring sekarat kehilangan daya
Saat peduli menjadi sekedar milik para pemimpi
Saat etika berada entah di mana
Saat nurani buta oleh angkara
Saat generasi bebal dan kehilangan arah
Saat kebaikan dan pasti(nya) kebenaran hilang terhempas di jagad raya
Gundah saya….
Gundah benar saya…
Benar-benar gundah saya….
Jakarta, Kamis 25 Juni 200
Melihat jiwa-jiwa muda itu
Harus membaca dan berhitung
Saat usia belum lagi genap empat tahun
Gundah saya…
Menyaksikan muka-muka lucu itu
Nyaris tanpa ekspresi
Saat aturan ini dan itu
Harus dijalani sepenuh
Gundah saya…
Menyadari masa kecil mereka kehilangan makna
Karena teriakan seru berayun
Pudar karena setumpuk PR
Karena histeria melihat cacing tanah
Hilang karena les-les Matematika dan Bahasa
Karena celoteh riang abang dan upik
Terhapus karena gemuruh tuntutan
Karena senandung ringan saat bermain air, tanah, dan udara
Pupus karena harus menempuh rangkaian ‘tes atau ujian’
Gundah saya…
Karena makna kanak-kanak dan remaja
Mati sebelum waktunya
Gundah benar saya…
Saat ancaman tidak naik kelas dan tidak lulus
Merebut hak mereka untuk menciptakan mozaik keindahan
Yang terpadu elegan karena sikap penerimaan
Yang terlukis tiada terperi oleh motivasi dan kepercayaan
Yang terpapar jelas pada setiap senyum dan dekapan
Yang tersenandung begitu merdu dari kata dan ujaran
Yang terpacu saat bertemu dengan dukungan
Yang nyaris sempurna berkat doa dan harapan
Benar-benar gundah saya…
Melihat tunas-tunas hijau itu
Terbakar matahari keangkuhan
Berbalut prestise, harga diri, dan aktualisasi
Karena bagi saya
Logika perengut kehidupan berbanding sama dengan ketiadaan
Nol, kosong, rapuh, dan hampa
Namun juga bersinonim dengan panen kejutan di masa depan
Saat arti diri berbaring sekarat kehilangan daya
Saat peduli menjadi sekedar milik para pemimpi
Saat etika berada entah di mana
Saat nurani buta oleh angkara
Saat generasi bebal dan kehilangan arah
Saat kebaikan dan pasti(nya) kebenaran hilang terhempas di jagad raya
Gundah saya….
Gundah benar saya…
Benar-benar gundah saya….
Jakarta, Kamis 25 Juni 200
Langganan:
Postingan (Atom)